Berbekal
kepiawaiannya mengelola supply chain
management, Agus Tjandra berobsesi menjadi Jeff Bezos atau Jack Ma-nya
Indonesia
Oleh Purjono
Agus Suhendro
Siapa
yang tidak mengenal Amazon.com? Toko online
yang menjual buku-buku, film, game,
CD, DVD, perangkat lunak dan perangkat keras komputer, serta produk-produk
terkait gaya hidup itu begitu dikenal di Amerika Serikat. Bahkan, boleh
dibilang Amazon merupakan toko ranah maya yang terbesar sekaligus kiblat e-commerce global saat ini. Siapa pun
yang membicarakan e-commerce, sulit
rasanya mengesampingkan kebesaran Amazon.
Tahun
lalu, perusahaan yang berbasis di Seattle, Washington, itu berhasil membukukan
laba usaha senilai $862 juta dari pendapatan sebesar $48,07 miliar. Sampai kuartal
pertama 2012, jumlah karyawannya telah mencapai 65.600 orang. Padahal, toko
yang melayani permintaan dari berbagai penjuru dunia itu baru berumur 18 tahun.
Dan, ketika mendirikannya pun Jeff Bezos masih tercatat sebagai karyawan di
perusahaan investasi serta pengembangan teknologi DE Shaw & Co.
Sementara
itu, di belahan wilayah yang lain, publik China begitu mendambakan Jack Ma. Ma
semula adalah guru bahasa Inggris di Hangzhou Teachers College, Kota Hangzhou,
Provinsi Zhejiang. Pada 1999, Ma mengembangkan Alibaba.com, e-commerce berkonsep marketplace yang diperuntukkan bagi
perusahaan-perusahaan di mana pun berada yang ingin menjual atau membeli sebuah
produk.
Dari
situlah Ma dikenal dan dikenang. Sebab, Alibaba.com kini berhasil menarik
sekitar 79 juta pengguna dari 240 negara. Situs yang kemudian berkembang
menjadi Alibaba Group tersebut telah memiliki beberapa anak perusahaan, antara
lain Taobao Marketplace, Tmall.com, eTao, dan Alibaba Cloud Computing. Apabila
dijual saat ini, kelompok bisnis itu diramalkan bernilai $35 miliar atau setara
dengan Rp300 triliun. Itulah yang membuat Ma dinobatkan sebagai Pemimpin Muda
Global oleh World Economic Forum pada 2001.
Apa
yang menjadi persamaan antara Amazon dengan Alibaba atau Jeff Bezos dengan Jack
Ma? Amazon dan Alibaba sama-sama dikembangkan pada 1990-an. Sedangkan para
pendirinya sama-sama lahir pada 1964. Yang menjadi pertanyaan, apa menariknya?
Sepuluh tahun setelah kelahiran Bezos dan Ma, tepatnya 22 Agustus 1974, di Kota
Palembang, Sumatera Selatan, lahirlah Agus Tjandra yang amat bermimpi menjadi
Jeff Bezos atau Jack Ma-nya Indonesia.
Agus,
demikian ia akrab disapa, menghabiskan masa kecil di kota kelahirannya. Ia baru
merantau ke ibu kota Jakarta ketika melanjutkan studi ke Universitas Bina
Nusantara pada 1993. Karena ingin mempelajari sistem informasi manajemen, ia
mengambil jurusan Management Information Systems. Pada 1998, usai dinyatakan
lulus dari kampus, ia mengawali kariernya dengan bergabung menjadi staf biasa
di perusahaan eksportir seafood.
Di
pabrik eksportir seafood tersebut,
Agus mendapatkan banyak pelajaran yang berharga. Ia menjadi tahu pengelolaan
bisnisnya, mulai dari mencari bahan baku hingga proses pengiriman ke pelanggan
di luar negeri. Agus pun dipercaya menjadi overseas
marketing untuk melayani pembeli dari Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa
dengan posisi terakhir marketing manager.
Tapi,
Agus tak bertahan lama. Ia “dibajak” oleh salah satu perusahaan international trading terbesar dari
Jepang setahun kemudian untuk mengurusi kantor perwakilan yang baru dibuka di
Jakarta. Tentu saja bebannya tak bisa dibilang ringan karena ia bertanggung
jawab langsung kepada atasannya yang berasal dari kantor pusat. Selain itu, ia
wajib membesarkan perusahaan tersebut yang masih berada di titik nol. Padahal,
kala itu Indonesia sedang terpuruk akibat krisis ekonomi yang melanda.
Berbagai
tantangan itu justru yang membuat Agus lekas memahami arti bisnis sebenarnya.
Ia banyak belajar dari keadaan. Disiplin, selalu berpikir positif, dan terus
memikirkan berbagai inovasi merupakan sedikit hal yang ia lakukan tanpa henti
demi membesarkan perusahaan. Soal inovasi, misalnya, ia tak pasrah dengan
sedikit klien. Ia rela mendatangi perusahaan-perusahaan nasional untuk
mengajaknya memasarkan produk-produk mereka ke pasar mancanegara.
Karena
itu, setiap bulan ia mengunjungi negara-negara potensial untuk mencari para
pembeli produk-produk dari Indonesia. Tidak hanya seafood, ia memperbanyak dengan produk kopi, lada, atau apa saja
yang sekiranya laku di pasar internasional. “Sehingga, hampir semua negara
sudah pernah saya kunjungi, terutama China dan Hong Kong serta negara-negara di
kawasan Eropa,” katanya.
Dan,
yang paling berguna bagi penyuka pop mandarin dan jazz itu ialah menjadi
mengerti bagaimana proses manajemen rantai pasokan (supply chain management) sebuah barang, mulai dari mencari penjual,
menemukan dan melobi pembeli, mengirimkan, sampai mengatur pembayaran, dan lain
sebagainya. Ia pun berpengalaman dalam membuka pasar-pasar baru. Pengalaman
itulah yang membuat ia berpikir hal-hal baru, termasuk membuka bisnis sendiri.
Pada
2005, karena menyukai refleksi, Agus mencoba peruntungan di bisnis
refleksologi. Tidak lama berselang, ia membuka gerai salon kecantikan bernama
Salon Anna Wijaya di ITC Permata Hijau, Jakarta Selatan, atas hak waralaba dari
Anna Wijaya, temannya. “Pada dasarnya, saya hobi berbisnis. Jadi, apa saja yang
sekiranya menguntungkan, akan saya bisniskan,” ungkapnya. Walau sudah membuka
bisnis sendiri, bukan berarti Agus telah keluar dari perusahaan international trading Jepang itu.
Agus
baru mundur pada 2007 setelah jiwa bisnisnya semakin menggelora. Ia lantas mendirikan
PT Agna Prosperindo Abadi, perusahaan penyedia katalog belanja bagi para nasabah
perbankan. Prosesnya hampir mirip dengan perusahaan trading bahwa perusahaan tersebut mengimpor barang-barang bermerek
asal Jepang, Amerika Serikat, China, Taiwan, dan Hong Kong untuk dipasarkan
melalui katalog. Untuk menjalankan bisnisnya, ia menggandeng bank-bank penyedia
kartu kredit.

Berbekal
kartu kredit itulah ia berbelanja barang-barang yang memungkinkan untuk dijual
kembali melalui katalog. Fokus produknya adalah gadget, aksesori, peralatan rumah tangga, dan produk-produk
penopang gaya hidup. Baginya, ada ceruk yang bisa dijadikan peluang bisnis
sehingga ia berani melakukan dengan cara itu. “Memang harus berani,” ujarnya.
“Mungkin kelebihan saya, saya bisa melihat tren yang akan terjadi di masa
depan.”
Sekali
waktu, ia mengimpor gelang kesehatan merek Magnvm dan memasarkannya melalui
katalog yang ia buat. Tak disangka, permintaannya begitu membludak, bahkan
meraih predikat Best Seller dari Bank Internasional Indonesia pada 2008. Atas
kesuksesan itu, bank-bank lantas berlomba-lomba mengandeng Agnaprosperindo. Reputasi
Agus dan perusahaannya pun semakin kinclong di mata kalangan perbankan. Sampai
akhirnya tren belanja online mewabah
di Indonesia dan ditangkap Agus dengan membuka toko PasarKredit.com.
Besarnya
potensi pasar e-commerce nasional
yang semakin tumbuh membuat Agus makin yakin untuk menyeriusi bisnis tersebut.
Sayangnya, konsumen nasional terlalu gengsi untuk berbelanja di PasarKredit.com
yang mengharuskan Agus mengubah namanya (rebranding)
menjadi Lojai.com pada 2010. Lojai diambil dari bahasa Portugis yang bermakna
Toko dengan konsep online department
store. “Orang Indonesia itu malu kalau disebut barangnya kreditan. Makanya
kami harus melakukan rebranding.”
Pasca-rebranding, Lojai.com langsung mendapat
sambutan yang meriah dari pengguna internet di Tanah Air. Posisinya pun melesat
mendekati Rakuten Belanja Online asal Jepang dan Blibli.com milik keluarga Djarum.
Berbeda dari e-commerce lainnya,
selain memasarkan lebih dari 100 merek-merek kelas menengah atas seperti Apple,
Samsung, dan Sony, bahkan satu-satunya toko online yang dipercaya memasarkan
merek St Dupont, Lojai.com menawarkan cicilan hingga 24 bulan dari 14 kartu
kredit, baik MasterCard, Visa, maupun lainnya. Padahal, kompetitornya paling
banyak hanya memiliki 2-3 pilihan kartu kredit.
Selain
itu, kini Lojai.com sedang mempersiapkan diri berekspansi ke kawasan Asia
Tenggara, khususnya Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Brunei Darussalam. “Di
dalam negeri, saya yakin Lojai.com akan memiliki 9 juta pelanggan selama lima
tahun ke depan,” kata Agus. “Dan, kalau memungkinkan, kami akan segera ekspansi
ke luar negeri.” Barangkali itulah jalan bagi Agus untuk bisa disebut Jeff
Bezos atau Jack Ma-nya Indonesia. “Obsesi saya ingin mencetak sejarah baru di
dunia e-commerce Tanah Air,” kata
penggemar film kungfu itu.[Bloomberg Businessweek Indonesia]
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar